Mereka menelepon lalu membuat janji, begitulah wartawan, sambil berkata ‘Deadlinenya besok, jadi hari ini musti ketemu’. Well, itu yang terjadi hari ini. Saat aku hendak menggambar untuk seorang klien, seorang wartawan menelepon dan berkata ia butuh saya untuk diwawancara. Saya bilang, OK, saya tidak keberatan.
Pada jam yang ditentukan saya datang dan setelah menunggu setengah jam (masih dengan jam karetnya) pembicaraan dimulai. Saya tidak keberatan menunggu setengah jam, karena saya bisa menyaksikan sibuk-sibuknya orang kantor pemberitaan koran ini. Lalu lalang tanpa say hi dengan cangkir-cangkir minuman mereka, menghadap komputer dan sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
Orang-orang ini cukup menarik perhatian saya, karena mereka bekerja, dan saya tidak. Lagipula pakaian saya menunjukkan saya bukan orang bekerja. Well, mungkin karena kebanyakan duduk di kantor, orang-orang ini mulai berubah sifatnya. Mereka menjadi lebih… terbiasa dengan apa yang ada. Tak lama, si wartawan datang, seorang cewek berkerudung, yang saya pikir adalah tipe cewek yang rajin dan mandiri. Ia menyapa saya dengan hangat dan kami mulai duduk. Proses wawancara dimulai.
Bla..bla..bla.. saya berbicara sesuai pertanyaan yang ia ajukan. Hanya sedikit pertanyaannya, tentang arsitektur rumah, namun jawaban saya lebih banyak. Pembicaraan banyak tentang rumah yang saya rancang dan barusan saja selesai dan sudah ditempati penghuninya.
Begitulah, duduk dan berbicara, orang-orang di seluruh kota akan mendengarkan apa yang saya katakan besok. Saya mulai menyadari bahwa ini boleh jadi bisa menjadi sebuah rutinitas. Rutinitas apa? Rutinitas untuk menjadi seorang pembicara, berbicara dan berbicara tentang bidang yang saya geluti; arsitektur.
Sudah beberapa kali saya diwawancara, sebagian oleh wartawan ibukota, yang ingin pendapat saya didengarkan sekali lagi, dan lagi. Untuk sementara saya ingin menyelami apa yang terjadi, barangkali saya mempertanyakan suatu keabsahan pendapat, bahkan pendapat saya sendiri.
Karena saya kuatir bahwa apa yang saya katakan kurang berkenan atau kurang bermanfaat. Hal inilah yang membuat saya lebih sering diam tanpa berkata-kata, meskipun saya bisa mengatakan sesuatu tentang sesuatu… Ada pertanyaan-pertanyaan yang belum bisa terjawab oleh saya, meskipun saya sudah memberikan jawaban bagi banyak orang. Saya masih mencari setitik perumpamaan Tuhan agar saya bisa megerti lebih banyak, tentang dunia ini. Dalam perjalanan seorang manusia yang belum mencapai tempat tertingginya (adakah tempat tertinggi itu?) saya lebih banyak diam dan berpikir. Sementara itu saya melihat lebih banyak orang berbicara tanpa berpikir. Sungguh unik memang, si manusia itu.
Baik saya maupun mereka, pendengar dan yang didengar, orang kota dan orang desa, siapapun itu didunia ini mencari kehidupan dengan seluruh daya upaya, kadang tidak untuk apa-apa. Sungguh menakutkan, bila seseorang hanya hidup, namun tidak hidup karena terburu mati sebelum ia menyadarinya.
Ada barang baru apa dibilang orang2…