Menjadi penulis buku di Indonesia; Masih dirugikan penerbit (?)

26 11 2008

Buat Anda yang ingin menulis buku, tunggu sebentar. Anda harus baca tulisan saya ini sebelum memutuskan jalan terbaik yang Anda pilih.

Saya seorang penulis buku, sejak tahun 2006 sudah menulis 4 buku. Dan ada beberapa draft buku di komputer saya, yang belum saya selesaikan. Selain karena kesibukan dengan pekerjaan mendesain rumah tinggal, juga karena saya sedang merencanakan cara-cara lain untuk mempublikasikan buku-buku saya.

Apa yang menjadi ganjalan adalah karena iklim penerbitan di Indonesia masih belum berpihak pada penulis. 10% royalti mungkin hanya bisa dipakai makan selama sebulan dan setelah itu kita harus cari makan sendiri dengan bekerja lainnya. Menulis menurut saya belum bisa dijadikan sebagai mata pencaharian. Masalah utama bukan pada penulis, tapi penerbit. Apa saja masalah yang bisa terjadi dengan penerbit?

  1. Penerbit, setelah menyatakan mau menerbitkan naskah kita, tiba-tiba membatalkan penerbitan. Alasannya; pertama mungkin karena dia tidak ada biaya menerbitkan, atau sedang ada masalah dalam perusahaannya, atau secara sederhana ternyata penerbit berpikir buku Anda belum layak jual dari sisi ekonomi.
  2. Penerbit membutuhkan waktu lama untuk menerbitkan buku. Pengalaman saya dengan penerbit; setidaknya butuh 4-5 bulan menunggu buku kita muncul di pasaran. 
  3. Buku terbit tapi tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Kadang-kadang karena tidak teliti atau tidak pahamnya redaksi penerbit atas naskah kita, mereka menghilangkan atau merubah isi naskah yang penting atau bagian vital dari buku. Pengalaman saya; kredit gambar (keterangan gambar foto milik siapa) yang seharusnya tampil dalam buku saya dihilangkan begitu saja oleh redaksi penerbit. Dalam hal ini saya merasa malu dengan pemilik obyek yang saya foto atau pemilik gambar-gambar tersebut karena mereka bisa saja mengira saya tidak mencantumkan kredit mereka. 
  4. Penerbit tidak transparan dalam laporan jumlah buku yang terjual. Nah inilah yang paling tidak enak untuk penulis, karena disini letak penulis dihargai secara material. Sudah royalti kecil (10%), kena pajak penulis 2,5% (pemerintah rupanya juga belum berpihak pada penulis), hasil penjualan ga jelas, royalti ga jelas pula. Inilah faktor utama kita masih dirugikan penerbit, dan menjadi penulis masih belum bisa menjadi sumber penghasilan utama di negeri ini.
  5. Copyright atau hak penerbitan secara default selalu diklaim oleh penerbit. Bila kita ingin menerbitkan kembali suatu saat akan menemui kesulitan karena sudah ada kontrak yang mengikat kita dengan penerbit eksklusif ini. 

Meskipun demikian, kita kenal penerbit-penerbit besar yang cukup baik managemennya dan bisa berlaku adil terhadap penulis. Penerbit ini biasanya yang sudah mapan dan besar. 

Sekarang ini, saya mencoba berpikir agar menulis yang kita lakukan dengan susah payah tidak terlalu dipakai sebagai sapi perahan bisnis semata oleh penerbit. Salah satu caranya adalah dengan menerbitkan sendiri buku-buku kita, atau mencari investor yang mau menjadi penerbit kita dengan perjanjian yang lebih menguntungkan. Hal ini masih saya usahakan.

Cara lain yang saya ingin lakukan adalah mendapatkan hak eksklusif agar copyright ada di tangan kita sebagai penulis. Kita harus mampu menawar hak penerbitan jangan sampai hanya dimiliki oleh satu penerbit saja, tapi usahakan kita bisa memilih penerbit mana yang akan menerbitkan buku kita. 

Saya memang belum menggunakan cara terakhir, tapi salah seorang teman penulis saya mengatakan ia mendapatkan kontrak dua tahun bekerjasama dengan salah satu penerbit. Menurut saya ini cara yang sangat baik karena dengan demikian setelah dua tahun, ia bisa memilih penerbit lain bila ingin merevisi atau menerbitkan ulang buku tersebut. Saya mulai menyadari bahwa penerbit selalu mengajukan hak eksklusif penerbitan agar ia mendapatkan keuntungan terbanyak dari penulis untuk kepentingannya sendiri. 

Cara lain lagi yang sedang saya buat saat ini; mencoba menawarkan naskah kita ke penerbit luar negeri. Saat ini saya sudah menyelesaikan sebuah naskah buku berbahasa Inggris tentang sebuah topik yang cukup populer dan saya akan mendapatkan jawaban kepastiannya hari ini juga. Inilah hebatnya penerbit luar negeri; mereka bisa mereview naskah buku hanya dalam waktu 24 jam dan memutuskan untuk menerbitkannya atau tidak. Lain dengan penerbit di Indonesia yang setidaknya butuh 2 bulan 😉

Bila cara saya ini berhasil, maka saya akan menjadi penulis internasional. Doakan saya ya. 

Bila berhasil, saya akan sharing dengan Anda.





menjadi seorang penulis

25 12 2007

So much thing to tell, so little time

Bu Ratna, seorang penulis cacat di Malang, pertemuan dengannya sangat inspiratif. Ia menulis lebih dari 400 cerpen dan puluhan novel. Ada pula banyak penulis yang saya buka websitenya pagi ini. Diantara cerita2 di blog mereka saya tahu, mereka punya hal-hal yang kurang lebih sama dengan saya; masalah2 seorang penulis buku.

Well, untuk menulis buku, saya tidak perlu ritual khusus, hanya sedikit malas saja di banyak waktu. Kebanyakan proyek bulan-bulan lalu membuat proyek buku saya banyak terhambat. Pagi ini, dan beberapa hari kemarin saya mulai menulis, karena Tuhan ‘menyelamatkan leher saya’ sekali lagi, saya butuh sedikit dana hari-hari ini dan untungnya Tuhan beri rejeki yang baik.

Untuk menulis, setidaknya saya butuh suasana yang tepat. Artinya, jauh dari kebisingan, jauh dari teman2 yang suka humor, dan berhadapan dengan laptop saya, kebanyakan waktu segala pikiran yang bisa dituangkan dalam buku segera mengalir begitu saja. Pernah saya heran, sehari saya menulis 5 halaman buku, lalu saya sedikit terganggu dengan pikiran saya sendiri; “Darimana semua kata2 yang barusan saya tuliskan itu datang?”… hehe… aneh ya

Mungkin pikiran2 itu mengendap dalam pikiran terdalam saya, dari bacaan-bacaan, hasil merenung, percakapan, dan sebagainya. Saya sendiri sudah kenal diri sendiri; saya sering menyimpan sebuah topik dalam benak saya, entah itu di jalan, waktu berbicara dengan teman, waktu di mall, entahlah… kadang saya berpikir tentang suatu topik saat saya sedang melakukan sesuatu yang lain.

Jadi kelihatannya sewaktu saya berhadapan dengan laptop, pikiran2 yang sudah ‘digodok’ itu muncul dan mengalir melalui jari2 saya. kebetulan saya menulis dengan 10 jari, dan saya tidak perlu melihat keyboard untuk mengetik. Sebagai gambaran, kemarin malam saya mengetik, sambil tiduran dan mata terpejam, dengan memangku laptop di paha saya. Saya pikir itu aneh sekali bukan?

Kadang2 teman2 saya ada yang heran karena saya mengetik sambil berbicara dengan mereka atau sambil melihat keluar jendela, misalnya.

Seperti pagi ini, hari Natal. Saya tidak merayakan natal, tapi saya sedang menulis sambil ditemani musik klasik; Beethoven, Bach, Mozart, Schubert, Debussy, dan kawan kawan. Denting2 piano, gesekan biola, tarikan trumpet menghiasi pagi yang cerah ini,… Dan saya masih mendengar sayup2 suara dangdut dimana2 dikampung ini.

menulis… sebuah kenikmatan buat saya.





masuk koran lagi

14 08 2007

 

Mereka menelepon lalu membuat janji, begitulah wartawan, sambil berkata ‘Deadlinenya besok, jadi hari ini musti ketemu’. Well, itu yang terjadi hari ini. Saat aku hendak menggambar untuk seorang klien, seorang wartawan menelepon dan berkata ia butuh saya untuk diwawancara. Saya bilang, OK, saya tidak keberatan.

Pada jam yang ditentukan saya datang dan setelah menunggu setengah jam (masih dengan jam karetnya) pembicaraan dimulai. Saya tidak keberatan menunggu setengah jam, karena saya bisa menyaksikan sibuk-sibuknya orang kantor pemberitaan koran ini. Lalu lalang tanpa say hi dengan cangkir-cangkir minuman mereka, menghadap komputer dan sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

Orang-orang ini cukup menarik perhatian saya, karena mereka bekerja, dan saya tidak. Lagipula pakaian saya menunjukkan saya bukan orang bekerja. Well, mungkin karena kebanyakan duduk di kantor, orang-orang ini mulai berubah sifatnya. Mereka menjadi lebih… terbiasa dengan apa yang ada. Tak lama, si wartawan datang, seorang cewek berkerudung, yang saya pikir adalah tipe cewek yang rajin dan mandiri. Ia menyapa saya dengan hangat dan kami mulai duduk. Proses wawancara dimulai.

Bla..bla..bla.. saya berbicara sesuai pertanyaan yang ia ajukan. Hanya sedikit pertanyaannya, tentang arsitektur rumah, namun jawaban saya lebih banyak. Pembicaraan banyak tentang rumah yang saya rancang dan barusan saja selesai dan sudah ditempati penghuninya.

Begitulah, duduk dan berbicara, orang-orang di seluruh kota akan mendengarkan apa yang saya katakan besok. Saya mulai menyadari bahwa ini boleh jadi bisa menjadi sebuah rutinitas. Rutinitas apa? Rutinitas untuk menjadi seorang pembicara, berbicara dan berbicara tentang bidang yang saya geluti; arsitektur.

Sudah beberapa kali saya diwawancara, sebagian oleh wartawan ibukota, yang ingin pendapat saya didengarkan sekali lagi, dan lagi. Untuk sementara saya ingin menyelami apa yang terjadi, barangkali saya mempertanyakan suatu keabsahan pendapat, bahkan pendapat saya sendiri.

Karena saya kuatir bahwa apa yang saya katakan kurang berkenan atau kurang bermanfaat. Hal inilah yang membuat saya lebih sering diam tanpa berkata-kata, meskipun saya bisa mengatakan sesuatu tentang sesuatu… Ada pertanyaan-pertanyaan yang belum bisa terjawab oleh saya, meskipun saya sudah memberikan jawaban bagi banyak orang. Saya masih mencari setitik perumpamaan Tuhan agar saya bisa megerti lebih banyak, tentang dunia ini. Dalam perjalanan seorang manusia yang belum mencapai tempat tertingginya (adakah tempat tertinggi itu?) saya lebih banyak diam dan berpikir. Sementara itu saya melihat lebih banyak orang berbicara tanpa berpikir. Sungguh unik memang, si manusia itu.

Baik saya maupun mereka, pendengar dan yang didengar, orang kota dan orang desa, siapapun itu didunia ini mencari kehidupan dengan seluruh daya upaya, kadang tidak untuk apa-apa. Sungguh menakutkan, bila seseorang hanya hidup, namun tidak hidup karena terburu mati sebelum ia menyadarinya.